Kamis, 29 Maret 2012

Lebih Baik Diasingkan daripada Hidup dalam Kemunafikan


Judul  : Catatan Seorang Demonstran
Penulis  : Soe Hok Gie
Penerbit : LP3ES
Tahun  : 1983


"Seorang filsuf yunani pernah menulis, nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. rasa-rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda"  (soe hok gie)

Nasionalisme bukan paham tabu yang bisa dianut bagi  warga keturunan. Cina kecil adalah julukan yang diberikan untuk Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa yang hidup pada masa 1960-an saat kekuasaan Soekarno tegak berdiri di bumi pertiwi Indonesia. Jujur, berani, dan lugas dalam menyampaikan pikiran-pikirannya. Buahnya, Soe Hok Gie banyak mengunduh tentangan dari kaum-kaum non progressive. Walaupun terkadang akibat keberaniannya itu, dia sering dimusuhi oleh berbagai pihak yang tidak senang dengannya. Selain aktif sebagai mahasiswa pergerakan, Soe Hok Gie adalah penulis produktif yang rajin mengkritisi dinamika sosial disekitarnya. Tidak tanggung-tanggung tulisannya tersebar di berbagai koran kampus hingga koran nasional. Tak jarang tulisan Gie membuat merah telinga.

Catatan Seorang Demonstran,  adalah kumpulan dari catatan harian Soe Hok Gie yang dimulai sejak masa kanak-kanaknya sampai seminggu sebelum kematiannya. Soe Hok Gie menghelat nafasnya setelah menghirup gas sulfur oksida dan jiwanya pun melayang menyatu dengan alam gunung semeru. Dimulai pada umur 15 tahun tertanggal 4 Maret 1957 jiwa pemberontak Soe Hok Gie sudah mulai terlihat. Soe Hok Gie menulis demikian:

"Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumi-ku 8 tapi dikurangi 3 jadi tinggal 5. Aku tak senang dengan itu. Aku iri karena di kelas merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut".(h. 77)

Sejak masih kanak-kanak Soe Hok Gie, yang kemudian dipanggil akrab dengan Hok Gie/ Gie, sebagaimana juga tersirat dalam cuplikan di atas memang sudah memiliki jiwa perlawanan terhadap ketidakadilan. Dia protes dan tak terima ketika nilai yang harusnya 8 dipotong oleh gurunya menjadi 5  hanya karena Gie tidak setuju dengan pendapat gurunya yang menyatakan bahwa Chairil Anwar adalah pengarang asli sajak Pulanglah Dia Si Anak Hilang. Menuru Gie ada perbedaan antara pengarang dan penerjemah, dan Gie yakin bahwa  Chairil Anwar adalah penerjemah Pulanglah Dia Si Anak Hilang, dan bukan pengarang asli karena pengarang aslinya adalah Andre Gide. Dia kesal  dan menumpahkan kekesalannya dalam catatan hariannya tertanggal 8 Februari 1958, dia ungkapkan kekesalannya terhadap sang guru demikian:

"Kalau angkaku ditahan (model guru yang tak tahan kritik) aku akan mengadakan koreksi habis-habisan. Sedikit kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikian maksudku. Itu 100 persen tergantung dari dia. Aku tak mau minta maaf. Memang demikian kalau dia bukan guru pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Aku rasa dalam hal sastra aku lebih pandai. Guru model gituan. Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selalu benar. Dan murid bukan kerbau" (h. 85-86)

Keberanian Gie ini berlanjut dan mulai merambah dalam urusan-urusan sosial, politik bangsa dan negara. Dia berani mengkritik bapak-bapak pejabat yang duduk di kursi terhormat, ketika kebijakan atau tindakan mereka tidak berpihak pada rakyat dan korup.  Di bangku kuliahnya, Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, dia aktif berdiskusi, menonton film dan mengadakan pergerakan mahasiswa yang berujung pada jatuhnya Soekarno. Keberanian mahasiswa-mahasiswa menentang kekuasaan korup terwujud dalam berbagai macam aksi yang terekam dalam catatan harian Gie, diantaranya tertulis berikut:

Pukul setengah Sembilan kira-kira 10.000 mahasiswa meninggalkan Salemba 6 untuk menuju DPRGR di Senayan. Waktu itu suasana sangat panas. Mahasiswa-mahasiswa berteriak-teriak BUBARKAN PKI, GANYANG MENTERI PLINTAT-PLINTUT, TURUNKAN HARGA BENSIN, dan lagu-lagu “menteri tolol dan ngobyek” terdengar berulang (h.176)

Makin lama suasana makin panas. Penempelan poster-poster makin liar dan suara yang terpendam dalam hati mahasiwa selama bertahun-tahun, keluar. STOP IMPORT ISTRI (terang yang dimaksudkan Ibu Dewi). SATU MENTERI SATU ISTERI. CHAERUL SALEH MENTERI GOBLOK dan lain-lainnya. Disana-sini terjadi insiden-insiden, juga aku hamper berkelahi di dekat jembatan Semanggi (h. 176-177).

Tak bisa dipungkiri Gie ikut membangun masa Orde Baru, namun dia kecewa dengan sikap para mahasiswa yang kehilangan idealismenya ketika sudah duduk sebagai pejabat dengan segala fasilitas mewahnya. Bentuk kritikan tersebut diwujudkan Gie dengan mengirimi pejabat-pejabat terhormat bedak, lipstik, dan cermin yang dimaksudkan sebagai penyindiran atas sikap mereka yang suka mencari muka pada penguasa. Menurutnya mahasiswa seperti koboy yang turun gunung ketika rakyat membutuhkan pertolongan, dan koboy itu kemudian menghilang secara tiba-tiba ketika urusannya selesai. Demikian pula mahasiswa, ketika urusannya untuk membela rakyat kecil dengan menjatuhkan kekuasaan tiran selesai maka harus kembali pada kehidupannya semula yaitu belajar.

Buku ini sungguh sangat menarik, membuka alam pikiran dan pemahaman kita terhadap sejarah bangsa Indonesia yang terkadang masih sempit agar lebih luas dan obyektif. Kita akan tergelitik ketika membaca bagaimana Gie sangat tidak suka kepada Soekarno dan ingin menumbangkan kekuasaannya. Tapi ketika orde lama telah tumbang digantikan orde baru yang dipimpin Soeharto, Gie tak berhenti mengkritik walaupun dia ikut andil akan lahirnya orde baru. Gie bukan seorang komunis bahkan dia ikut menyuarakan untuk membubarkan PKI (partai komunis masa itu). Tapi dia juga yang paling lantang berteriak ketika orang-orang PKI dibantai, dihukum tanpa proses peradilan. Inilah yang menarik dari sosok seorang Soe Hok Gie, menyuarakan hatinya dengan kejujuran tanpa keberpihakan pada apapun kecuali demi rakyat dan tanah air Indonesia. Gie adalah seorang yang visioner. Ketika generasi nyaman menghamba dengan orde baru dan larut dalam hysteria politiknya, Gie tetap rasional, proporsional dalam memainkan perannya sebagai “Check and Balances” terhadap kebijakan pemerintahan secara objektif.

Buku ini tidak hanya mengupas tentang sisi idealis seorang Gie namun juga sisi-sisi keromantisannya. Di balik “kegarangan” dan “kegelisahan” atas dinamika sosial politik di sekitarnya, Gie adalah pemuda yang juga memiliki sisi-sisi romantik. Tertulis juga dalam catatan hariannya bahwa dia sempat dekat dengan beberapa perempuan walaupun pada akhirnya tak ada satupun yang benar-benar berlanjut. Ya, Gie terlampau susah dimengerti oleh kaum wanita di sekelilingnya. Kesendiriannya tanpa kekasih ditulis jelas dalam catatan hariannya berikut:

"Aku masih ingat ketika aku dan Boeli ngobrol di bus pulang dari Cisalak. Aku tanya, “Boel kenapa engkau enggak punya pacar?”. “Dilarang dokter,” katanya sambil senyum. Kami sama-sama tahu siapa dokter itu. Dia adalah perjuangan kami. Dengan Jopie aku juga pernah berdialog yang sama di Kebayoran. “Aku kira pada akhirnya kita harus memilih, apakah kita mau menjadi pastor atau domine”. Aku katakan pada dia bahwa aku tidak ingin punya pacar dalam keadaan sekarang, karena aku tidak ingin membawa pacarku dalam kehidupan yang keras dan kejam. Dan aku tak mau terikat agar aku bisa terus dinamis" (h. 173)

Secara ekstrim Gie pernah menulis dalam catatan hariannya bahwa cinta tak ada yang ada hanyalah urusan kelamin, namun lambat laun pendapat ini berubah sedikit demi sedikit sejalan dengan bertambahnya usia dan kedewasaannya. Bahkan pada suatu titik Gie meyakini bahwa cinta sejati memang ada. Itulah Gie, kritis, idealis, namun juga romantis.

Tertulis juga di catatan hariannya tentang perjalanannya ke Amerika Serikat dalam rangka lawatan dengan mahasiswa-mahasiswa lain di seluruh dunia. Aktivitasnya ketika lawatan di Amerika Serikat tak jauh dari diskusi dan membaca, tidak hanya membaca buku tapi juga membaca situasi. Gie memang peka terhadap dinamika kehidupan dunia lebih-lebih bangsanya. Dia tak pernah lelah untuk terus menggali ilmu dan pengetahuan kemudian mengkritisi. Membaca buku ini seperti di ingatkan kembali akan sisi yang lain dalam kehidupan kita, karena manusia terkadang terlalu sibuk dengan urusannya pribadi tanpa peduli urusan lingkungannya bahkan bangsa dan negaranya. Gie adalah peranakan Cina namun jiwanya nasionalis melebihi rasa nasionalisme manusia Indonesia asli sekalipun.

Madiun, 31 Januari 2010

Tidak ada komentar: