Mati tak berarti Mati
Judul
: Mereka yang Mati Muda
Penulis
: Arifin Surya Nugraha, dkk
Penerbit
: Bio pustaka
Tahun : 1983
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan
belang. Demikianlah biasanya peribahasa yang kita dengar sejak duduk di sekolah
dasar. Namun apakah yang ditinggalkan oleh manusia ketika dia mati??ya, tak
lain adalah karya dan buah pemikirannya. Usia boleh saja singkat, hidup boleh
saja sebentar tapi karya dan buah pemikirannya hidup jauh melampaui tahun
bahkan abad. Buku ini akan mengajak kita untuk lebih berpikir terbuka, bahwa
harga hidup tidak dari panjangnya sebuah usia tapi lebih pada apa yang kita
perbuat untuk mengisi kehidupan.
Ingatkah kita dengan manusia-manusia revolusioner ini?
Ahmad Wahib dengan pemikirannya tentang Islam dan segala tanyanya akan agama
yang sudah dipeluknya sejak kanak-kanak. Chairil Anwar dengan sajak-sajaknya
yang menghentak. Kartini tokoh emansipasi wanita yang terkenal dengan
pendobrakan atas feodalisme dan kungkungan adat terhadap kaumnya. Soe Hok gie
dengan kritiknya yang tajam, lugas, dan jujur. Selain itu ada Sudirman,
Supriyadi, Munir Said, dan Robert Wolter Monginsidi dengan buah karya dan
jasanya masing-masing.
Mereka muda, berani, dan pantang menyerah dalam
mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Chairil Anwar misalnya untuk
menghasilkan sajak yang berkualitas butuh waktu sangat lama, sehingga dia
dijuluki penyair yang tak produktif (h. 36). Tapi apa nyana hasil karyanya
“hidup” melebihi batas usianya sendiri. Baris-baris sajak Chairil sering
dihafal, sebut saja “aku ini binatang jalang, aku mau hidup seribu tahun lagi”
(h. 35).
Tokoh revolusioner lain yaitu Kartini, tak lelah
memperjuangkan nasibnya, nasib kaumnya agar lebih sejajar dengan kaum
laki-laki. Perjuangannya tak mulus karena dia harus terikat dengan adat yang
membelenggunya. Ibarat burung di dalam sangkar emas, Kartini dipingit layaknya
gadis pada masa itu selama hampir 4 tahun (h. 67). Hal inilah yang menjadikan
semangat Kartini meledak-ledak untuk mendobrak dan memberontak terhadap adat
yang membelenggunya. Bersama dua adik perempuannya Roekmini dan Kardinah,
mereka mulai mewujudkan mimpi dengan membangun sekolah putri.
Soedirman, Jenderal besar yang awalnya seorang guru pun
tak kalah revolusioner, demi memperjuangkan kemerdekaan dia rela bergerilya di
atas tandu karena menderita sakit paru-paru yang amat akut (h. 168). Kita juga
tak asing dengan nama Supriyadi pemimpin pemberontakan terhadap Jepang dengan
pasukan PETAnya. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang lebih baik mati
berkalang tanah daripada hidup mengemis pada bangsa penjajah.
Buku ini menarik dibaca sebagai pengantar untuk mengenal
siapa-siapa manusia revolusioner yang pernah dilahirkan ibu pertiwi namun
kembali kepangkuan Illahi dalam usia yang relatif muda. Belajar sejarah tidak
harus berangkat dari buku-buku tebal yang untuk memahaminya harus dengan
mengernyitkan dahi, tapi bisa dimulai dari buku yang bicara tentang sejarah
singkat namun menarik. Selamat
membaca.
Solo, 14 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar