Kamis, 29 Maret 2012

Mati tak berarti Mati

Judul : Mereka yang Mati Muda

Penulis : Arifin Surya Nugraha, dkk

Penerbit : Bio pustaka

Tahun : 1983

 

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Demikianlah biasanya peribahasa yang kita dengar sejak duduk di sekolah dasar. Namun apakah yang ditinggalkan oleh manusia ketika dia mati??ya, tak lain adalah karya dan buah pemikirannya. Usia boleh saja singkat, hidup boleh saja sebentar tapi karya dan buah pemikirannya hidup jauh melampaui tahun bahkan abad. Buku ini akan mengajak kita untuk lebih berpikir terbuka, bahwa harga hidup tidak dari panjangnya sebuah usia tapi lebih pada apa yang kita perbuat untuk mengisi kehidupan.

Ingatkah kita dengan manusia-manusia revolusioner ini? Ahmad Wahib dengan pemikirannya tentang Islam dan segala tanyanya akan agama yang sudah dipeluknya sejak kanak-kanak. Chairil Anwar dengan sajak-sajaknya yang menghentak. Kartini tokoh emansipasi wanita yang terkenal dengan pendobrakan atas feodalisme dan kungkungan adat terhadap kaumnya. Soe Hok gie dengan kritiknya yang tajam, lugas, dan jujur. Selain itu ada Sudirman, Supriyadi, Munir Said, dan Robert Wolter Monginsidi dengan buah karya dan jasanya masing-masing.

Mereka muda, berani, dan pantang menyerah dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Chairil Anwar misalnya untuk menghasilkan sajak yang berkualitas butuh waktu sangat lama, sehingga dia dijuluki penyair yang tak produktif (h. 36). Tapi apa nyana hasil karyanya “hidup” melebihi batas usianya sendiri. Baris-baris sajak Chairil sering dihafal, sebut saja “aku ini binatang jalang, aku mau hidup seribu tahun lagi” (h. 35).

Tokoh revolusioner lain yaitu Kartini, tak lelah memperjuangkan nasibnya, nasib kaumnya agar lebih sejajar dengan kaum laki-laki. Perjuangannya tak mulus karena dia harus terikat dengan adat yang membelenggunya. Ibarat burung di dalam sangkar emas, Kartini dipingit layaknya gadis pada masa itu selama hampir 4 tahun (h. 67). Hal inilah yang menjadikan semangat Kartini meledak-ledak untuk mendobrak dan memberontak terhadap adat yang membelenggunya. Bersama dua adik perempuannya Roekmini dan Kardinah, mereka mulai mewujudkan mimpi dengan membangun sekolah putri.

Soedirman, Jenderal besar yang awalnya seorang guru pun tak kalah revolusioner, demi memperjuangkan kemerdekaan dia rela bergerilya di atas tandu karena menderita sakit paru-paru yang amat akut (h. 168). Kita juga tak asing dengan nama Supriyadi pemimpin pemberontakan terhadap Jepang dengan pasukan PETAnya. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup mengemis pada bangsa penjajah.

Buku ini menarik dibaca sebagai pengantar untuk mengenal siapa-siapa manusia revolusioner yang pernah dilahirkan ibu pertiwi namun kembali kepangkuan Illahi dalam usia yang relatif muda. Belajar sejarah tidak harus berangkat dari buku-buku tebal yang untuk memahaminya harus dengan mengernyitkan dahi, tapi bisa dimulai dari buku yang bicara tentang sejarah singkat namun menarik. Selamat membaca.

Solo, 14 Februari 2010

Tidak ada komentar: