Kamis, 29 Maret 2012

Nyai Ontosoroh


Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramudya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun : 2oo8

Suatu ketika, saat saya masih menempuh kuliah kelas di pascasarjana UNS, saya disodori buku oleh teman saya Arifin Suryo Nugroho, penulis Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno (Ombak:2009). Buku yang bernuansa kuning hijau dengan gambar depan dua orang perempuan naik kereta kuda, yang satu berpakaian kebaya dan yang satu berpakaian Eropa. Saya bilang pada teman saya itu bahwa saya berjanji akan membacanya. Betul saja setelah itu saya disibukkan dengan aktivitas membaca buku yang ketebalannya lumayan sakit bila di-kepruk-kan ke kepala manusia.

Saya menyadari bahwa perkenalan saya dengan buku-buku Pram tak dapat dilepaskan dari pengaruh Arifin Suryo Nugroho. Berbekal buku pinjaman itulah saya mulai mengenal goresan-goresan Pram walaupun belum banyak. Setelahnya saya mulai mencari sendiri buku-buku Pram yang lain.

Bumi manusia menyentuh nurani setiap perempuan yang membacanya termasuk saya. Bagaimana tidak, seorang perempuan desa yang jauh dari peradaban modern, hidup dalam kebersahajaan dan keluguan dengan terpaksa harus hidup bersama laki-laki asing dari negeri Eropa yang sama sekali tidak dikenal, berbeda bahasa, dan budaya.

Saya agak emosional dalam membaca buku ini, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau hal itu terjadi pada diri saya. Namun Sanikem, nama gadis itu yang kemudian dikenal dengan nyai Ontosoroh, berhasil keluar dari keterpurukan dan ketakutannya sendiri. Lambat laun dia mulai meraba dunia barunya. Belajar bahasa Belanda dari suami sekaligus tuannya, belajar mengatur perusahaan yang dimiliki suami, dan belajar bagaimana pola pikir seorang Belanda. Walaupun begitu Nyai Ontosoroh tak pernah lupa pada kebudayaan nenek moyangnya.

Pergundikan Sanikem dengan laki-laki Eropa menghasilkan dua anak. Anak pertama laki-laki, Robert  yang keseluruhan baik dari watak dan sikap adalah Eropa. Sementara adik Robert adalah Annelis, gadis cantik berwajah indo namun berjiwa pribumi yang dalam buku ketiga Pram Jejak Langkah disebut Bunga Akhir Abad.

Satu hal yang membuat saya terkesan dengan perempuan gundik Eropa ini adalah ketika dia mengatakan bahwa “bangsa Belanda datang ke tanah air kita karena mereka mencari apa yang tidak ada di negerinya. Kalau mereka sudah memiliki kenapa jauh-jauh menyeberang samudera dengan resiko yang sangat besar? Dan sudah berapa banyak peradaban di Belanda yang dibangun dari kekayaan alam kita? Dengan tetesan keringat dan darah para pribumi bahkan dengan nyawa”. Renungkan!!!

Tidak ada komentar: