Tuan-tuan kolonial kita telah menurutkan “nafsu” mereka yang tak
terkendali, dan dengan tidak peduli menghamili anak-anak perempuan negeri kita,
anak-anak haram yang mereka nyatakan mendapat bagian “yang mulia” dari darah
Eropa mereka. (E.F.E. Douwes Dekker).[1]
Selarik
kalimat di atas merupakan protes yang disampaikan oleh E.F.E. Dauwes Dekker
untuk para kolonialis Belanda yang melakukan praktek perkawinan antar bangsa
namun cenderung mengarah pada perendahan martabat wanita Asia, karena pada
umumnya praktek perkawinan tersebut lebih mengarah pada pergundikan.[2] Tulisan
tentang pergundikan masa kolonial Belanda ini diawali dari asal mula kedatangan
bangsa berkulit putih terutama Belanda di nusantara yang tidak disertai oleh
keluarganya. Aturan yang ketat dan kerasnya kehidupan di negeri seberang
mengharuskan para pegawai kerajaan Belanda datang seorang diri. Kebutuhan akan
kehidupan yang teratur dan normal mendorong laki-laki Belanda untuk mencari
pembantu sebagai pengatur rumah tangga yang dikemudian hari disebut “nyai”.
Disitulah
letak daya tarik kisah per-nyai-an masa kolonial Belanda karena pada prakteknya
mereka tidak hanya membantu urusan rumah tangga tapi merambah wilayah pribadi
yaitu urusan seksual yang semakin dirangsang karena iklim di daerah tropis dan
adanya makanan yang berbumbu pedas. Seorang laki-laki Belanda yang memelihara
nyai harus mendirikan rumah tangga sendiri terlepas dari para bujangan yang
hidup di kamar-kamar. Sampai pergantian abad ke-20, hubungan antara pria Eropa
dan wanita pribumi dipandang lumrah oleh masyarakat.
Kata
nyai berarti gundik orang asing terutama orang Eropa atau panggilan kepada
perempuan tua.[3] Awalnya kata
nyai diartikan sebagai sebutan umum wanita dewasa di Jawa Barat namun mempunyai
konotasi lain ketika masa kolonial Belanda yaitu lebih diartikan sebagai
gundik, selir, atau wanita simpanan para pejabat dan serdadu bangsa Belanda.
Pada masa kolonial nasib nyai lebih beruntung daripada budak, mereka berada
dalam posisi yang tinggi secara ekonomis, tapi rendah secara moral. Secara
ekonomis mereka berada di atas rata-rata perempuan pribumi
yang bukan bangsawan.
Sejarah
per-nyai-an dimulai ketika Eva Ment istri dari Jan Pieterzoon Coen tiba di Batavia pada 27 September
1627 dari Belanda.[4] Dia adalah
wanita Belanda pertama yang mendarat di nusantara. Suaminya adalah gubernur
jenderal yang mendirikan kota Batavia setelah berhasil mengalahkan
orang-orang Banten dan Inggris pada tahun 1619. Istri gubernur jenderal ini
sengaja didatangkan dari Belanda bersama dengan adik perempuannya untuk memberi
contoh potret keluarga Belanda yang baik.
Berdirinya
kota Batavia
serta merta membutuhkan banyak para ahli di berbagai bidang untuk
perkembangannya seperti dokter, ahli kapal, ahli tata kota, penginjil, dan orang-orang sipil biasa
untuk menggerakkan perdagangan. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan
wanita-wanita Belanda untuk menciptakan sebuah kehidupan berkeluarga yang layak
dan harmonis. Namun perjalanan laut yang panjang dan kematian yang besar bagi
para penumpangnya menjadi penyebab gagalnya memenuhi kebutuhan di kota Batavia.
Selain alasan-alasan tersebut juga hal lain yang menjadi penyebab langkanya
wanita Eropa, yaitu adanya peraturan bahwa laki-laki Eropa hanya boleh menikah
atas ijin atasan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ikatan antara
laki-laki Belanda dengan wanita pribumi yang jarang menuju ke jenjang
perkawinan tetapi lebih kepada pergundikan atau memelihara istri sampingan yang
populer disebut nyai.
Bagaimanapun
nyai adalah ibu dari sebagain besar penduduk indo[5] berdarah
campuran. Sampai akhir tahun 1925 ada 27,5 persen dari seluruh orang Eropa yang
tinggal di Indonesia, yang memilih menikah dengan pribumi atau pasangan yang
berdarah campuran.[6]
Hidup dalam Dua Budaya
Lingkungan
alam yang berbeda antara negeri Belanda dengan di nusantara menyebabkan
perbedaan-perbedaan dalam banyak tatacara hidup. Wanita-wanita belanda akan
berpakaian dengan wol yang hitam dan tebal di bagian atas, serta memakai rok
beludru tebal disertai rok bagian dalam yang berlapis-lapis. Laki-laki Belanda
juga mempunyai kebiasaan yang sama untuk berpakaian tebal yang berlapis-lapis
disertai kaus kaki dan sepatu yang juga tak kalah tebalnya. Mereka juga
menghindar dari mandi secara teratur dan pada waktu malam hari menutup jendela
dengan tirai-tirai tebal. Dalam hal makan pun berbeda, karena orang-orang Belanda
akan memakai peralatan makanan yang berat.
Kebudayaan Eropa begitu pesat masuk ke bumi nusantara.
Dalam hal pakaian di nusantara wanita pada umumnya menolak barat sementara
laki- laki cenderung menerimanya[7] Laki-laki mulai
menggunakan celana panjang, kemeja, jas dan dasi sementara wanita masih
bertahan dengan memakai kain sarung dan kebaya yang memang lebih mudah dipakai.
Wanita pribumi yang tinggal di rumah Eropa dalam hal ini adalah para nyai,
mereka tetap melakukan kebiasaan pribumi yang ada terpisah dengan tuan mereka
yang melakukan kebiasaan Eropa.
Bersatunya nyai dan tuan Eropa-nya dalam sebuah kehidupan
rumah tangga, menimbulkan banyak penyesuaian budaya terkait dengan alam dan
gaya hidup pribumi. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar ini,
lambat laun akan makin berkurang terutama setelah anak keturunannya dari hasil
perkawinan dengan wanita Jawa makin banyak.[8]
Mereka menyadari perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai
upaya untuk menjaga martabat bangsa penguasa. Penyesuaian antara kebudayaan
Belanda dengan kebudayaan pribumi disebut sebagai kebudayaan indis.
Namun
dalam perjalanan hidup, anak indo akan cenderung mengikuti budaya ayahnya yang
Eropa karena budaya ibunya yang pribumi tertindas oleh kuasa tuannya yang lebih
menonjol. Maka bisa dibayangkan seorang wanita pribumi yang harus membesarkan
anaknya sendiri yang berbeda budaya. Kebiasaan hidup para nyai yang berbeda
dengan tuannya bahkan dengan anaknya sendiri yang indo menjadi gunjingan dan
cemoohan para penulis Eropa, seperti cuplikan berikut:
Sambil tak henti-henti makan sirih pinang, dan tentu saja
dikelilingi budak-budak perempuan yang mengeroki punggungnya, wanita-wanita ini
seolah-olah menghabiskan umur mereka dengan berpangku tangan belaka.[9]
Nyai
memang mempunyai keunikan, di satu sisi dicemooh dan dihina sebagai wanita
murahan layaknya pelacur oleh banyak penulis Eropa namun di sisi lain dipuja
layaknya bidadari yang jatuh dari surga. Para
nyai sering digambarkan sebagai wanita cantik, menarik,
mengenakan kain songket
bersulam benang emas dan perak, mengenakan tusuk konde roos, peniti intan, dan
giwang yang terbuat dari berlian. Mereka mempunyai kehidupan lebih dari cukup
dilihat dari segi material, karena tuan-tuan mereka adalah para pegawai-pegawai
kompeni yang bergaji besar. Maka tak aneh bila dari segi pakaian dan gaya hidup mereka
termasuk kalangan atas setara dengan wanita pribumi bangsawan.
Pujian
dan sanjungan terhadap nyai dan wanita-wanita pribumi di sampaikan dalam sebuah
puisi-sado Perancis bahwa warna kulit perempuan Hindia dipuji sebagai teint
basane (avec) une petite couleur de chocolat-au-lait[10]
Yang diartikan kulit dengan warna susu cokelat yang terbakar matahari atau
dalam bahasa Inggris seperti warna sepatu indah yang terbuat dari kulit sapi
muda. Hal ini menambah hasrat perjaka Belanda untuk menikahi perempuan berkulit
cokelat dan berambut hitam legam daripada berada di dekat perempuan berkulit
putih pucat dan jenis rambut jerami.
Penggambaran
penilaian terhadap wanita Jawa dan pekerjaannya yang berpengaruh terhadap
kehidupan ekonomi secara mendasar yang membuat kagum orang Belanda. Keluhuran
dan kehebatan wanita pribumi terutama Jawa dalam masalah pekerjaan dan rumah
tangga menurut laki-laki Eropa tercantum dalam karangan Raffles, History of
Java sebagai berikut:
The labour of the women on java is estimated
almost as highly as that of the men. In the transaction of money-concerns, the
women are universally considered superior to men, and from the common labourer
to the chief of a province it is usual for the husband to trust his pecuniary
affairs entirely to his wife. The women alone attend the markets and conduct
all the business of buying and selling. It is proverbial to say, that the
Javanese men are fools in money concerns. [11]
Nyai
ditugaskan untuk bekerja sebagai pengurus dalam rumah kehidupan antara dua
budaya yang sangat jauh berbeda. Hal inilah yang mengakibatkan nyai hanya
dianggap sebagai pemuas nafsu, selain mengurus rumah tangga. Namun nyai tetap
bertindak sebagai kepala rumah tangga. Pembantu-pembantu lain dan kuli-kuli
kontrak patuh dan tidak berani membantahnya.
Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah
obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka
hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih
senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter
yang mendalami ilmu kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan
pada wanita.
Status dalam Perkawinan
Seperti yang sudah tertulis sebelumnya, nyai berada dalam posisi yang tinggi secara
ekonomis tapi rendah secara moral. Mereka biasanya hidup bersama dengan tuan
Eropa tanpa adanya status perkawinan yang jelas. Bila dalam hubungan menghasilkan
anak maka nyai dapat dituduh hal ini memang dilakukan dengan sengaja. Akibatnya
anak tersebut akan diusir dari rumah beserta ibunya yang pribumi atau bisa juga
laki-laki Eropa tersebut mensyahkan anaknya. Sesudah tahun 1915 anak-anak yang
berasal dari hubungan ini dapat ditampung di balai keselamatan anak.[12] Terkadang anak ini dibawa oleh
ayahnya, bila dia kembali ke Eropa dan tidak akan kembali lagi.
Posisi
seorang nyai dalam hubungannya dengan tuan Eropa tergantung dari sifat tuannya
itu. Bila tuannya adalah laki-laki yang berpendidikan dan makmur maka nyai
berfungsi selayaknya istri, pembantu, atau budak. Namun bila si laki-laki
kurang peduli maka nyai lebih banyak berfungsi sebagai pelacur.
Tiadanya
kejelasan status dalam hubungan antara nyai dengan laki-laki Eropa masa itu,
sungguh menyulitkan posisi anak hasil hubungan mereka karena kebanyakan anak
darah campuran atau indo tidak diposisikan sebagai warga kelas Eropa. Orang
Eropa sendiri cenderung memandang rendah anak-anak indo kecuali mereka sudah
mendapat status Eropa dengan cara telah diakui oleh ayahnya. Rendahnya status
indo dibanding orang-orang Eropa asli dirasakan oleh seorang pegawai Belanda
bernama Willem Walraven, diceritakan dengan penuh penderitaan demikian:
Bahwa satu dari anak perempuannya yang berkulit
agak cokelat, anak sulungnya, merasa malu terlihat di depan umum bersama Itih,
ibunya yang berdarah Sunda, karena dia percaya bahwa perempuan berdarah murni
Eropa akan melecehkan dan mengabaikan mereka.[13]
Banyak
kisah dan roman yang ditulis mengenai nyai dibumbui sedapnya penderitaan dan
pengorbanan cinta. Umumnya penulis kisah-kisah tersebut adalah orang Eropa
sehingga menyudutkan nyai pada posisi sebagai perempuan nakal dan perebut suami
orang. Seperti yang ditulis oleh Theresa Hoven tahun 1892 berjudul Vrouwen
Life En Leed In De Tropen (Cinta dan Derita Perempuan di Tanah Tropis).[14]
Berkisah tentang pertarungan seorang perempuan Belanda lugu dengan
pengkhianatan budaya di Hindia Belanda. Suaminya yang dia sangka sangat baik
dan terhormat ternyata seorang yang sagat jahat dan tak bermoral. Suaminya itu
ketika pergi ke Belanda telah mengusir nyai dan anaknya, namun ketika kembali
ke Jawa, mempekerjakan kembali si nyai sebagai juru masak keluarga. Kisah ini
berakhir dengan balas dendamnya si nyai kepada tuan Eropa dan istrinya.
Status
nyai yang tidak jelas dalam hubungan keluarga menimbulkan banyak masalah. Dan
dalam persinggungan dua budaya yang sungguh berbeda ini, kaum wanita yang terwakili
oleh nyai lebih banyak dirugikan secara moral.
Daftar Pustaka
Denys Lombard. 2005. Nusa Jawa
Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan Jilid I. Jakarta:Gramedia.
Djoko
soekiman. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya
Hidup Masyarakat Pendidikannya Di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XXI. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Frances Gouda. 2007. Dutch
Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: SerambI.
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta:Pustaka
Amani.
Leonard Blusse.
2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di
Batavia VOC . Yogyakarta:LKiS.
Suyono.
2005. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial . Jakarta:Grasindo.
[1] Cuplikan artikel yang ditulis oleh E.F.E.
Douwes Dekker pada tahun 1913 sebagai bentuk protes atas perkawinan antar
bangsa yang cenderung merendahkan martabat kaum wanita pribumi Asia (Lihat di
Frances Gouda. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia
Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 271)
[6] Frances Gouda. Dutch Culture Overseas: Praktik
Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 291)
[7] Denys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas
Pembaratan Jilid I (Jakarta:Gramedia,2005), hlm.158.
[8] Lihat di Djoko soekiman. Kebudayaan indis dan gaya
hidup masyarakat pendidikannya di Jawa abad XVIII-medio abad XX1 (Yogyakarta:
Bentang Budaya,2000), hlm.36.
[9] Leonard Blusse. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita
Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta:LKiS,2004) hlm. 20
[12] Dibangun memang untuk menampung anak-anak hasil
hubungan nyai dengan tuan Eropa-nya (Ibid., hlm. 29.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar