Kamis, 29 Maret 2012

Nyai di Loji-Loji Eropa


Tuan-tuan kolonial kita telah menurutkan “nafsu” mereka yang tak terkendali, dan dengan tidak peduli menghamili anak-anak perempuan negeri kita, anak-anak haram yang mereka nyatakan mendapat bagian “yang mulia” dari darah Eropa mereka. (E.F.E. Douwes Dekker).[1]

Selarik kalimat di atas merupakan protes yang disampaikan oleh E.F.E. Dauwes Dekker untuk para kolonialis Belanda yang melakukan praktek perkawinan antar bangsa namun cenderung mengarah pada perendahan martabat wanita Asia, karena pada umumnya praktek perkawinan tersebut lebih mengarah pada pergundikan.[2] Tulisan tentang pergundikan masa kolonial Belanda ini diawali dari asal mula kedatangan bangsa berkulit putih terutama Belanda di nusantara yang tidak disertai oleh keluarganya. Aturan yang ketat dan kerasnya kehidupan di negeri seberang mengharuskan para pegawai kerajaan Belanda datang seorang diri. Kebutuhan akan kehidupan yang teratur dan normal mendorong laki-laki Belanda untuk mencari pembantu sebagai pengatur rumah tangga yang dikemudian hari disebut “nyai”. 

Disitulah letak daya tarik kisah per-nyai-an masa kolonial Belanda karena pada prakteknya mereka tidak hanya membantu urusan rumah tangga tapi merambah wilayah pribadi yaitu urusan seksual yang semakin dirangsang karena iklim di daerah tropis dan adanya makanan yang berbumbu pedas. Seorang laki-laki Belanda yang memelihara nyai harus mendirikan rumah tangga sendiri terlepas dari para bujangan yang hidup di kamar-kamar. Sampai pergantian abad ke-20, hubungan antara pria Eropa dan wanita pribumi dipandang lumrah oleh masyarakat.

Kata nyai berarti gundik orang asing terutama orang Eropa atau panggilan kepada perempuan tua.[3] Awalnya kata nyai diartikan sebagai sebutan umum wanita dewasa di Jawa Barat namun mempunyai konotasi lain ketika masa kolonial Belanda yaitu lebih diartikan sebagai gundik, selir, atau wanita simpanan para pejabat dan serdadu bangsa Belanda. Pada masa kolonial nasib nyai lebih beruntung daripada budak, mereka berada dalam posisi yang tinggi secara ekonomis, tapi rendah secara moral. Secara ekonomis mereka berada di atas rata-rata perempuan pribumi yang bukan bangsawan

Sejarah per-nyai-an dimulai ketika Eva Ment istri dari Jan Pieterzoon Coen tiba di Batavia pada 27 September 1627 dari Belanda.[4] Dia adalah wanita Belanda pertama yang mendarat di nusantara. Suaminya adalah gubernur jenderal yang mendirikan kota Batavia setelah berhasil mengalahkan orang-orang Banten dan Inggris pada tahun 1619. Istri gubernur jenderal ini sengaja didatangkan dari Belanda bersama dengan adik perempuannya untuk memberi contoh potret keluarga Belanda yang baik. 

Berdirinya kota Batavia serta merta membutuhkan banyak para ahli di berbagai bidang untuk perkembangannya seperti dokter, ahli kapal, ahli tata kota, penginjil, dan orang-orang sipil biasa untuk menggerakkan perdagangan. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan wanita-wanita Belanda untuk menciptakan sebuah kehidupan berkeluarga yang layak dan harmonis. Namun perjalanan laut yang panjang dan kematian yang besar bagi para penumpangnya menjadi penyebab gagalnya memenuhi kebutuhan di kota Batavia. Selain alasan-alasan tersebut juga hal lain yang menjadi penyebab langkanya wanita Eropa, yaitu adanya peraturan bahwa laki-laki Eropa hanya boleh menikah atas ijin atasan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ikatan antara laki-laki Belanda dengan wanita pribumi yang jarang menuju ke jenjang perkawinan tetapi lebih kepada pergundikan atau memelihara istri sampingan yang populer disebut nyai.
Bagaimanapun nyai adalah ibu dari sebagain besar penduduk indo[5] berdarah campuran. Sampai akhir tahun 1925 ada 27,5 persen dari seluruh orang Eropa yang tinggal di Indonesia, yang memilih menikah dengan pribumi atau pasangan yang berdarah campuran.[6]

Hidup dalam Dua Budaya
Lingkungan alam yang berbeda antara negeri Belanda dengan di nusantara menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam banyak tatacara hidup. Wanita-wanita belanda akan berpakaian dengan wol yang hitam dan tebal di bagian atas, serta memakai rok beludru tebal disertai rok bagian dalam yang berlapis-lapis. Laki-laki Belanda juga mempunyai kebiasaan yang sama untuk berpakaian tebal yang berlapis-lapis disertai kaus kaki dan sepatu yang juga tak kalah tebalnya. Mereka juga menghindar dari mandi secara teratur dan pada waktu malam hari menutup jendela dengan tirai-tirai tebal. Dalam hal makan pun berbeda, karena orang-orang Belanda akan memakai peralatan makanan yang berat. 

Kebudayaan Eropa begitu pesat masuk ke bumi nusantara. Dalam hal pakaian di nusantara wanita pada umumnya menolak barat sementara laki- laki cenderung menerimanya[7] Laki-laki mulai menggunakan celana panjang, kemeja, jas dan dasi sementara wanita masih bertahan dengan memakai kain sarung dan kebaya yang memang lebih mudah dipakai. Wanita pribumi yang tinggal di rumah Eropa dalam hal ini adalah para nyai, mereka tetap melakukan kebiasaan pribumi yang ada terpisah dengan tuan mereka yang melakukan kebiasaan Eropa. 

Bersatunya nyai dan tuan Eropa-nya dalam sebuah kehidupan rumah tangga, menimbulkan banyak penyesuaian budaya terkait dengan alam dan gaya hidup pribumi. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar ini, lambat laun akan makin berkurang terutama setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan wanita Jawa makin banyak.[8] Mereka menyadari perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk menjaga martabat bangsa penguasa. Penyesuaian antara kebudayaan Belanda dengan kebudayaan pribumi disebut sebagai kebudayaan indis. 

Namun dalam perjalanan hidup, anak indo akan cenderung mengikuti budaya ayahnya yang Eropa karena budaya ibunya yang pribumi tertindas oleh kuasa tuannya yang lebih menonjol. Maka bisa dibayangkan seorang wanita pribumi yang harus membesarkan anaknya sendiri yang berbeda budaya. Kebiasaan hidup para nyai yang berbeda dengan tuannya bahkan dengan anaknya sendiri yang indo menjadi gunjingan dan cemoohan para penulis Eropa, seperti cuplikan berikut:

Sambil tak henti-henti makan sirih pinang, dan tentu saja dikelilingi budak-budak perempuan yang mengeroki punggungnya, wanita-wanita ini seolah-olah menghabiskan umur mereka dengan berpangku tangan belaka.[9]
 
Nyai memang mempunyai keunikan, di satu sisi dicemooh dan dihina sebagai wanita murahan layaknya pelacur oleh banyak penulis Eropa namun di sisi lain dipuja layaknya bidadari yang jatuh dari surga. Para nyai sering digambarkan sebagai wanita cantik, menarik, mengenakan kain songket bersulam benang emas dan perak, mengenakan tusuk konde roos, peniti intan, dan giwang yang terbuat dari berlian. Mereka mempunyai kehidupan lebih dari cukup dilihat dari segi material, karena tuan-tuan mereka adalah para pegawai-pegawai kompeni yang bergaji besar. Maka tak aneh bila dari segi pakaian dan gaya hidup mereka termasuk kalangan atas setara dengan wanita pribumi bangsawan. 

Pujian dan sanjungan terhadap nyai dan wanita-wanita pribumi di sampaikan dalam sebuah puisi-sado Perancis bahwa warna kulit perempuan Hindia dipuji sebagai teint basane (avec) une petite couleur de chocolat-au-lait[10] Yang diartikan kulit dengan warna susu cokelat yang terbakar matahari atau dalam bahasa Inggris seperti warna sepatu indah yang terbuat dari kulit sapi muda. Hal ini menambah hasrat perjaka Belanda untuk menikahi perempuan berkulit cokelat dan berambut hitam legam daripada berada di dekat perempuan berkulit putih pucat dan jenis rambut jerami. 

Penggambaran penilaian terhadap wanita Jawa dan pekerjaannya yang berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi secara mendasar yang membuat kagum orang Belanda. Keluhuran dan kehebatan wanita pribumi terutama Jawa dalam masalah pekerjaan dan rumah tangga menurut laki-laki Eropa tercantum dalam karangan Raffles, History of Java sebagai berikut:

The labour of the women on java is estimated almost as highly as that of the men. In the transaction of money-concerns, the women are universally considered superior to men, and from the common labourer to the chief of a province it is usual for the husband to trust his pecuniary affairs entirely to his wife. The women alone attend the markets and conduct all the business of buying and selling. It is proverbial to say, that the Javanese men are fools in money concerns. [11]

Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda. Hal inilah yang mengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain mengurus rumah tangga. Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga. Pembantu-pembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani membantahnya. 

Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter yang mendalami ilmu kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan pada wanita. 

Status dalam Perkawinan
Seperti yang sudah tertulis sebelumnya, nyai berada dalam posisi yang tinggi secara ekonomis tapi rendah secara moral. Mereka biasanya hidup bersama dengan tuan Eropa tanpa adanya status perkawinan yang jelas. Bila dalam hubungan menghasilkan anak maka nyai dapat dituduh hal ini memang dilakukan dengan sengaja. Akibatnya anak tersebut akan diusir dari rumah beserta ibunya yang pribumi atau bisa juga laki-laki Eropa tersebut mensyahkan anaknya. Sesudah tahun 1915 anak-anak yang berasal dari hubungan ini dapat ditampung di balai keselamatan anak.[12] Terkadang anak ini dibawa oleh ayahnya, bila dia kembali ke Eropa dan tidak akan kembali lagi. 

Posisi seorang nyai dalam hubungannya dengan tuan Eropa tergantung dari sifat tuannya itu. Bila tuannya adalah laki-laki yang berpendidikan dan makmur maka nyai berfungsi selayaknya istri, pembantu, atau budak. Namun bila si laki-laki kurang peduli maka nyai lebih banyak berfungsi sebagai pelacur.
Tiadanya kejelasan status dalam hubungan antara nyai dengan laki-laki Eropa masa itu, sungguh menyulitkan posisi anak hasil hubungan mereka karena kebanyakan anak darah campuran atau indo tidak diposisikan sebagai warga kelas Eropa. Orang Eropa sendiri cenderung memandang rendah anak-anak indo kecuali mereka sudah mendapat status Eropa dengan cara telah diakui oleh ayahnya. Rendahnya status indo dibanding orang-orang Eropa asli dirasakan oleh seorang pegawai Belanda bernama Willem Walraven, diceritakan dengan penuh penderitaan demikian:

Bahwa satu dari anak perempuannya yang berkulit agak cokelat, anak sulungnya, merasa malu terlihat di depan umum bersama Itih, ibunya yang berdarah Sunda, karena dia percaya bahwa perempuan berdarah murni Eropa akan melecehkan dan mengabaikan mereka.[13]

Banyak kisah dan roman yang ditulis mengenai nyai dibumbui sedapnya penderitaan dan pengorbanan cinta. Umumnya penulis kisah-kisah tersebut adalah orang Eropa sehingga menyudutkan nyai pada posisi sebagai perempuan nakal dan perebut suami orang. Seperti yang ditulis oleh Theresa Hoven tahun 1892 berjudul Vrouwen Life En Leed In De Tropen (Cinta dan Derita Perempuan di Tanah Tropis).[14] Berkisah tentang pertarungan seorang perempuan Belanda lugu dengan pengkhianatan budaya di Hindia Belanda. Suaminya yang dia sangka sangat baik dan terhormat ternyata seorang yang sagat jahat dan tak bermoral. Suaminya itu ketika pergi ke Belanda telah mengusir nyai dan anaknya, namun ketika kembali ke Jawa, mempekerjakan kembali si nyai sebagai juru masak keluarga. Kisah ini berakhir dengan balas dendamnya si nyai kepada tuan Eropa dan istrinya. 

Status nyai yang tidak jelas dalam hubungan keluarga menimbulkan banyak masalah. Dan dalam persinggungan dua budaya yang sungguh berbeda ini, kaum wanita yang terwakili oleh nyai lebih banyak dirugikan secara moral.

Daftar Pustaka
Denys Lombard. 2005. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan Jilid I. Jakarta:Gramedia.
Djoko soekiman. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendidikannya Di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XXI. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Frances Gouda. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: SerambI.
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta:Pustaka Amani.
Leonard Blusse. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC . Yogyakarta:LKiS.
Suyono. 2005. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial . Jakarta:Grasindo.


[1] Cuplikan artikel yang ditulis oleh E.F.E. Douwes Dekker pada tahun 1913 sebagai bentuk protes atas perkawinan antar bangsa yang cenderung merendahkan martabat kaum wanita pribumi Asia (Lihat di Frances Gouda. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 271)
[2] Memelihara istri simpanan, biasanya tanpa adanya status perkawinan yang jelas
[3] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. (Jakarta:Pustaka Amani)
[4] Suyono. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial (Jakarta:Grasindo,2005), hlm.16.
[5] Anak hasil perkawinan orang pribumi asli dengan orang Belanda
[6] Frances Gouda. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 291)
[7] Denys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan Jilid I (Jakarta:Gramedia,2005), hlm.158.
[8] Lihat di Djoko soekiman. Kebudayaan indis dan gaya hidup masyarakat pendidikannya di Jawa abad XVIII-medio abad XX1 (Yogyakarta: Bentang Budaya,2000), hlm.36.
[9] Leonard Blusse. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta:LKiS,2004) hlm. 20
[10] Frances Gouda. Op. Cit, hlm. 295.
[11] Suyono, Op.Cit, hlm. 26
[12] Dibangun memang untuk menampung anak-anak hasil hubungan nyai dengan tuan Eropa-nya (Ibid., hlm. 29.)
[13] Frances Gouda. Op. Cit, hlm. 287.
[14] Ibid. hlm. 326

Tidak ada komentar: