Kamis, 29 Maret 2012

Pemlintiran makna gender


Tulisan ini berangkat dari masih banyaknya masyakat termasuk di dalamnya aktivis akademika yang belum paham makna gender yang sesungguhnya, bahkan kaum perempuan atau kaum wanita sendiri yang notabene korban dari pemlintiran makna gender, terkadang juga belum bahkan tidak paham. Penggunaan istilah perempuan berasal dari kata “empu” yang maknanya dihargai, dipertuan, dihormati sedangkan wanita berasal dari kata “wani tapa” artinya berani menderita untuk sebuah tujuan yang mulia (Handayani: 2008)

Gender dan kelamin

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural (Fakih: 2007:8). Misalnya perempuan senantiasa di identikkan dengan kelembutan, kasih sayang, selalu memakai perasaan, suka menangis, dll. Sementara laki-laki di identikkan dengan kepemimpinan, rasional, tegas, jarang menangis.

Kelamin merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial (Sugihastuti, 2007:5). Misalnya perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui, sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan menghasilkan sperma, ketetapan ini sudah ada sejak dahulu kala.
Gender tidak diturunkan langsung melalui ciri biologis, gender juga bukan kepemilikan individual. Tetapi gender dibentuk oleh lingkungan sosial. Gender bukanlah definisi permanen tentang cara “alami” bagi perempuan dan laki-laki untuk berperilaku, kendati pun definisi semacam itu dihadirkan atau dialami (Mosse, 2002:4). Gender tertanam dalam pengalaman-pengalaman mulai dari lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, tempat rekreasi, hingga permainan. Gender terpatri dalam keluarga, lingkungan, sekolah, dan media. Gender dapat terlihat dari bagaimana perempuan dan laki-laki berjalan, makan di restoran, termasuk memakai toilet.

Pemlintiran makna gender

Pemaknaan gender atau kelamin yang tidak tepat tidak penting dan tidak menjadi soal bila tidak menimbulkan masalah. Namun pemaknaan yang tidak tepat telah menimbulkan masalah diantaranya merendahkan posisi perempuan baik di lingkungan rumah tangga, lingkungan kerja, atau lingkungan masyarakat sosial yang lebih luas. Eksploitasi terhadap perempuan, dan pelecehan seksual. Contoh pemlintiran makna gender diambil dari dua segi yaitu dari segi kebudayaan Jawa dan dari segi pandangan Islam.

A. Kebudayaan jawa
Di kebudayaan jawa di kenal berbagai pandangan, prinsip hidup, karakteristik masyarakat jawa yang diwujudkan dalam suatu kata-kata, khususnya yang akan dibicarakan disini adalah masalah perempuan. Kata-kata tersebut sayangnya diartikan secara egois oleh kalangan tertentu, sehingga menghilangkan makna luhur yang sebenarnya dikandung. Diantaranya yaitu “kanca wingking” yang oleh masyarakat pada umumnya diartikan dan diperjelas dengan istilah “dapur, kasur, pupur” atau “masak, macak, manak”. Sungguh ada yang salah disitu, yaitu pemlintiran makna, mencuplik dari Handayani (2008: 118) kanca wingking tidak selalu diartikan seseorang yang senantiasa berada di belakang, lebih buruk, dan kurang menentukan. Tapi istilah kanca wingking bila ditelaah lebih lanjut, bermakna luhur. Seperti sutradara, tempatnya di belakang layar tapi justru dialah yang menentukan jalannya permainan. Maka terdapatlah kata-kata yang amat terkenal bahwa”di belakang kejayaan seorang laki-laki ada perempuan hebat”.

B. Pandangan Islam
Orang seringkali menggunakan dasar agama untuk menginferioritaskan atau merendahkan perempuan, termasuk penggunaan kitab suci Al Quran sebagai dasar inferioriras, contohnya (Hidayatullah.com) pertama ungkapan “perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki” sehingga seringkali hanya sebagai pelengkap laki-laki saja. Padahal dalam Al Quran tidak pernah disebutkan hawa tercipta dari tulang rusuk adam. Keduanya adalah hamba Allah yang mempunyai kedudukan sama, tidak ada mana yang lebih rendah atau mana yang lebih tinggi. Kedua yaitu istilah yang juga popular di kalangan masyarakat Jawa “Surga nunut neraka katut,”. Allah memandang semua makhluknya sama kecuali takwanya, dan Allah memberikan balasan yang adil untuk semua makhluk baik laki-laki maupun perempuan untuk setiap perbuatannya. Ketiga ayat yang menyatakan “ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Pemimpin dalam bahasa Arab bisa berarti pelindung, atau penanggung jawab.

Dari itulah tak ada lagi direndahkan atau merendahkan, karena laki-laki dan perempuan pada dasarnya berpijak pada kodratnya masing-masing yang bila dijalankan dengan keluhuran akan menciptakan keharmonisan hidup di jagat raya. Perempuan harus lebih cerdas untuk memaknai hak dan kewajiban dalam hidup, serta jeli dengan tindakan-tindakan pemlintiran makna gender yang bermaksud merendahkan dirinya.

Sumber rujukan
Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Handayani, Christina S& Ardhian Novianto. 2008. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKIS
Mosse, Julia Cleves. 2002. Gender dan pembangunan. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Sugihastuti&Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis.
Pustaka pelajar: Yogyakarta.
Hidayatullah.com diakses 30 Desember 2009

Tidak ada komentar: