Sabtu, 22 November 2014

Guruku adalah Suamiku

Ini adalah tulisan saya di blog sebelah yang bertanggal 13 Oktober 2013, tepatnya sehari menjelang hari raya Idul Adha. Saya memang telah mencoba beberapa blog, dan saya pikir ini adalah blog yang paling cocok dan mudah tentu saja :)

Menjadi pemenang lomba menulis tingkat nasional adalah sebuah kebanggaan buatku, yang terus-menerus akan kuingat sepanjang hidup. Bukan masalah hadiah uangnya, namun masalah proses. Bagaimana untuk bisa sampai kesana itulah yang kadang membuatku geleng-geleng kepala jika mengingatnya. Dan lompatan yang terlampaui jauh pulalah yang membuatku heran dan tak habis mengerti. Walaupun aku juga tak bisa melepaskan semua ini dari pengaruh suamiku. Naskah yang aku lombakan itu aku buat sejak tahun 2010, dan aku ikutkan lomba di tahun 2012. Dua tahun waktu buatku untuk mengotak-atik, menambal sulam dan membongkar ulang di bagian tertentu.

Kadang aku kecewa, ketika naskah dibaca oleh suami. Kata-katanya adalah “naskah terlalu kering, harus didalami di beberapa bagian sehingga alur ceritanya bisa dinamis”. Oh…… ternyata untuk menulis sejarah pun harus pandai-pandai mengolah kata, karena itulah dalam sejarah ada yang disebut tahap interpretasi. Kalau Cuma kumpulan kata-kata, tulisan hanya akan seperti kamus. Benahi lagi dan cari sumber lagi.

Begitupun ketika aku sodorkan judul untuk tulisanku. Suami bilang, judul kurang cocok. Katanya, judul haruslah menggambarkan seluruh isi tulisan bukan cuma mewakili sebagian tulisan saja. Kalau novel atau kumpulan cerpen mungkin tak apalah judul seperti itu tapi untuk tulisan sejarah baiklah aku mengikuti apa katanya. Jadilah aku setiap harinya merenung, apa judul yang cocok untuk tulisanku. Sampai kutemukan judul yang pas, mewakili dan terkesan sedikit resmi namun tak terlalu panjang.

Tahun 2013 adalah tahun kedua buatku mengikuti lomba yang sama. Sampai tulisan ini kubuat, belum ada pengumuman siapa-siapa yang menjadi pemenang. Berharap menang lagi, tentu saja iya. Namun aku juga sudah siap jika tak menang, karena ini kompetisi, ada yang menang dan ada yang kalah.

Namun, lebih dari itu aku sekarang menyadari betapa memang Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan apa yang kita inginkan. Selain aku belajar banyak tentang dunia tulisan kepadanya aku juga telah menjadikannya sebagai mentor pribadiku dalam belajar bahasa Inggris.

Mulai dari dasar lagi nih
Awalnya suami menyarankan agar aku les bahasa Inggris di lembaga tertentu dan dia siap untuk menanggung biaya. Karena cita-cita kami sama, ingin melanjutkan s3 ke luar negeri. Kemampuan bahasa Inggris suami sudah cukup bagus, sementara aku masih jauh alias sangat jelek. Namun setelah survey sana-sini, kok kelihatannya cukup mahal. Lebih baik uangnya untuk keperluan rumah tangga dan keperluan anak pikirku.

Dari situlah akhirnya aku memutuskan untuk belajar bahsa Inggris mandiri dengan modul dan buku yang aku beli di Gramedia, bila aku kesulitan tinggal bertanya ke suami. Intinya begini menurutku “Jangan gengsi bertanya ke suami jika tidak tahu, tidak mengerti atau kurang paham dengan apa yang dijelaskan oleh buku” Alhamdulillah suami menyambut baik niatku ini, dia juga telaten dan sabar menjelaskan, mengoreksi exercise ku, serta memberikan kritikan-kritikan untuk pemahaman bahasa Inggrisku yang masih kurang bagus dan saat tulisan ini aku buat, aku sudah belajar banyak dari suami.



                                

Tidak ada komentar: