Tulisan ini berangkat dari masih banyaknya
masyakat termasuk di dalamnya aktivis akademika yang belum paham makna gender
yang sesungguhnya, bahkan kaum perempuan atau kaum wanita sendiri yang notabene
korban dari pemlintiran makna gender, terkadang juga belum bahkan tidak paham.
Penggunaan istilah perempuan berasal dari kata “empu” yang maknanya dihargai,
dipertuan, dihormati sedangkan wanita berasal dari kata “wani tapa” artinya
berani menderita untuk sebuah tujuan yang mulia (Handayani: 2008)
Gender dan kelamin
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural
(Fakih: 2007:8). Misalnya
perempuan senantiasa di identikkan dengan kelembutan, kasih sayang, selalu
memakai perasaan, suka menangis, dll. Sementara laki-laki di identikkan dengan
kepemimpinan, rasional, tegas, jarang menangis.
Kelamin merupakan
penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial
(Sugihastuti, 2007:5). Misalnya perempuan memiliki vagina, payudara, rahim,
bisa melahirkan dan menyusui, sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan
menghasilkan sperma, ketetapan ini sudah ada sejak dahulu kala.
Gender tidak
diturunkan langsung melalui ciri biologis, gender juga bukan kepemilikan
individual. Tetapi gender dibentuk oleh lingkungan sosial. Gender bukanlah
definisi permanen tentang cara “alami” bagi perempuan dan laki-laki untuk
berperilaku, kendati pun definisi semacam itu dihadirkan atau dialami (Mosse,
2002:4). Gender tertanam dalam pengalaman-pengalaman mulai dari lembaga
pendidikan, kantor pemerintahan, tempat rekreasi, hingga permainan. Gender
terpatri dalam keluarga, lingkungan, sekolah, dan media. Gender dapat terlihat
dari bagaimana perempuan dan laki-laki berjalan, makan di restoran, termasuk
memakai toilet.
Pemlintiran makna
gender
Pemaknaan gender
atau kelamin yang tidak tepat tidak penting dan tidak menjadi soal bila tidak
menimbulkan masalah. Namun pemaknaan yang tidak tepat telah menimbulkan masalah
diantaranya merendahkan posisi perempuan baik di lingkungan rumah tangga,
lingkungan kerja, atau lingkungan masyarakat sosial yang lebih luas.
Eksploitasi terhadap perempuan, dan pelecehan seksual. Contoh pemlintiran makna
gender diambil dari dua segi yaitu dari segi kebudayaan Jawa dan dari segi
pandangan Islam.
A. Kebudayaan
jawa
Di kebudayaan
jawa di kenal berbagai pandangan, prinsip hidup, karakteristik masyarakat jawa
yang diwujudkan dalam suatu kata-kata, khususnya yang akan dibicarakan disini
adalah masalah perempuan. Kata-kata tersebut sayangnya diartikan secara egois
oleh kalangan tertentu, sehingga menghilangkan makna luhur yang sebenarnya
dikandung. Diantaranya yaitu “kanca wingking” yang oleh masyarakat pada umumnya
diartikan dan diperjelas dengan istilah “dapur, kasur, pupur” atau “masak,
macak, manak”. Sungguh ada yang salah disitu, yaitu pemlintiran makna,
mencuplik dari Handayani (2008: 118) kanca wingking tidak selalu diartikan
seseorang yang senantiasa berada di belakang, lebih buruk, dan kurang menentukan.
Tapi istilah kanca wingking bila ditelaah lebih lanjut, bermakna luhur. Seperti
sutradara, tempatnya di belakang layar tapi justru dialah yang menentukan
jalannya permainan. Maka terdapatlah kata-kata yang amat terkenal bahwa”di
belakang kejayaan seorang laki-laki ada perempuan hebat”.
B. Pandangan
Islam
Orang seringkali
menggunakan dasar agama untuk menginferioritaskan atau merendahkan perempuan,
termasuk penggunaan kitab suci Al Quran sebagai dasar inferioriras, contohnya
(Hidayatullah.com) pertama ungkapan “perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki” sehingga seringkali hanya sebagai pelengkap laki-laki saja. Padahal
dalam Al Quran tidak pernah disebutkan hawa tercipta dari tulang rusuk adam.
Keduanya adalah hamba Allah yang mempunyai kedudukan sama, tidak ada mana yang
lebih rendah atau mana yang lebih tinggi. Kedua yaitu istilah yang juga popular
di kalangan masyarakat Jawa “Surga nunut neraka katut,”. Allah memandang semua
makhluknya sama kecuali takwanya, dan Allah memberikan balasan yang adil untuk
semua makhluk baik laki-laki maupun perempuan untuk setiap perbuatannya. Ketiga
ayat yang menyatakan “ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita”.
Pemimpin dalam bahasa Arab bisa berarti pelindung, atau penanggung jawab.
Dari itulah tak
ada lagi direndahkan atau merendahkan, karena laki-laki dan perempuan pada
dasarnya berpijak pada kodratnya masing-masing yang bila dijalankan dengan
keluhuran akan menciptakan keharmonisan hidup di jagat raya. Perempuan harus
lebih cerdas untuk memaknai hak dan kewajiban dalam hidup, serta jeli dengan
tindakan-tindakan pemlintiran makna gender yang bermaksud merendahkan dirinya.
Sumber rujukan
Fakih, Mansour.
2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Handayani,
Christina S& Ardhian Novianto. 2008. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta:
LKIS
Mosse, Julia
Cleves. 2002. Gender dan pembangunan. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Sugihastuti&Itsna
Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik
Sastra Feminis.
Pustaka pelajar:
Yogyakarta.
Hidayatullah.com
diakses 30 Desember 2009